Lompat ke isi utama

Berita

Catatan Orang Dalam : Setelah Aksi, Kita Membutuhkan Serangkaian Refleksi

Catatan Orang Dalam : Setelah Aksi, Kita Membutuhkan Serangkaian Refleksi
\n

Kedai Kopi A2W di kawasan Kelurahan Toboko, Kota Ternate, Maluku Utara lenggang. Kedai ini didesain terbuka, halamannya dipagari dengan bambu setinggi hampir 2 meter tapi dihiasi dengan lampu berwarna kuning. Di dalam kedai kopi ada lebih dari 20 orang mahasiswa dan pemuda antusias menghadiri bedah buku : Catatan Orang Dalam, Sehimpun Esai Pemilu & Pilkada. Bagi mereka, kesempatan itu menjadi momentum untuk menyerap informasi dan inspirasi mengenai pemilu dan pilkada dengan segala resikonya.

\n\n\n\n

Catatan Orang Dalam merupakan buku yang ditulis langsung Nur Elya Anggraini, buku ini sengaja diberi judul : Catatan Orang Dalam, karena penulisnya merupakan orang dalam yang menjabat sebagai Anggota Bawaslu Jawa Timur (Jatim) periode 2022-2027. Tulisan-tulisan di dalam buku ini juga pernah diterbitkan di media nasional baik online maupun cetak.

\n\n\n\n

Menurut Elya, setelah aksi kita membutuhkan serangkaian refleksi agar terbit aksi yang lebih baik. Untuk itulah, pilkada juga perlu adaptasi dengan cara baru. Salah satunya sosialisasi pilkada yang terstruktur, masif dan sistematis.

\n\n\n\n

Saya yang hadir dalam acara ini memilih untuk tidak bertanya, tapi lebih fokus mendengar. Saya ingin dengar keterhubungan kasus dan problem yang mirip antara temuan pengawasan pemilu dan pilkada di Jawa Timur dengan temuan kasus yang ada di Kota Ternate. Dan saya benar, ada beberapa penjelasan temuan yang disampaikan, memiliki kemiripan dengan temuan kasus yang ada di Ternate. Mulai dari money politik, pragmatisme ASN hingga kelemahan-kelemahan di dalam ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang pemilu dan pilkada.

\n\n\n\n

“Bila Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 dan UU Nomor 7 tahun 2017 tak direvisi, pemilu dan pilkada 2024 ini kita akan kembali menjalani ritual tahapan serupa,” kata Elya saat membincangkan buku yang ia tulis tersebut, pada Jumat 30 september 2022.

\n\n\n\n

Suasana bedah buku ini menjadi semakin menarik, karena dua narasumber lainya yang diundang juga memiliki kompetensi dan pengalaman di bidang kepemiluan dan sama-sama pernah melahirkan buku. Narasumber tersebut adalah Rusly Saraha dan Muamar Abd. Halil. Rusly sendiri merupakan anggota Bawaslu Kota Ternate yang menulis buku berjudul :Notes From Ternate – Catatan Pengawasan Pilkada Ternate Tahun 2020. Buku ini ia tulis menjelang 10 hari pertama ramadhan 1442 hijriah. Sedang Muamar merupakan dosen Universitas Khairun Ternate yang pernah bertugas sebagai anggota Panwaslu Kota Tidore Kepulauan, saat ini Muamar aktif menulis buku di bidang kesusastraan.

\n\n\n\n

Elya mengakui, setelah Pemerintah dan DPR RI bersepakat menggelar pilkada pada 9 Desember 2020, situasi dimana virus corona melumpuhkan aktivitas masyarakat. Bawaslu Jawa Timur sempat khawatir karena pilkada bukan hanya tentang datang ke bilik suara. Tapi ada serangkaian proses yang perlu dijalani. Situasi yang akut ini dibahas dalam tulisan yang berjudul “Menyelamatkan Pemilih Pilkada 2020 (halaman 44). Jika pilkada ini dipaksakan, maka ada kluster penularan baru di sana karena alat coblos yang digunakan dipakai secara bergantian.

\n\n\n\n

Disinilah strategi baru sosialisasi diperlukan. “Kita perlu new normal strategi sosialisasi untuk memangkas jarak, cepat menyebar, dan sampai kepada masyarakat secara utuh dan tepat bahwa tahapan Pilkada yang dilakukan akan aman dari potensi penularan covid-19. Rasa aman pemilih menjadi pendorong dari naiknya partisipasi,” jelas dia.

\n\n\n\n

Selain itu, ada juga kasus kekerasan yang menimpa pengawas ad hoc di Jawa Timur. Menurutnya, kasus kekerasan banyak terjadi karena gesekan di lapangan antara massa pendukung dengan petugas dalam menegakkan protokol kesehatan. “Salah satunya soal bagaimana kemudian pengawas pemilu perempuan itu mendapat kekerasan, salah satunya di Jatim, saat melakukan aktivitas pengawasan Pemilu di lapangan, kata dia.

\n\n\n\n

Ada yang menarik dalam diskusi ini saat Elya menjelaskan soal rumpun proletariat Bawaslu yang sering dilupakan, mereka antara lain sebagai pramusaji, security dan driver. Dalam ruang demokrasi yang diawasi, semuanya sama, status sosial tidak berlaku di sini. Mereka memiliki sejarah dalam kontribusi kemajuan demokrasi tersendiri. Cerita mereka adalah narasi yang sunyi dan asing.

\n\n\n\n

Begitu juga dengan impiannya mewujudkan mahadata pemilu yang muda, cepat, sederhana dan responsif di tengah keterlambatan penggunaan aplikasi Gowaslu dan Siwaslu. “Di era ini kita sudah harus menyiapkan satu mahadata yang bisa diakses secara mudah oleh publik. Mereka harus tau, kasus yang mereka laporkan progresnya sudah diproses sampai dimana, ini yang harus dipikirkan,” katanya.

\n\n\n\n

Di saat Elya menjelaskan, mata saya sering tertuju ke arah Rusly yang kala itu mengenakan kemeja berwarna krem muda. Sesekali ia mencatat penjelasan Elya di buku catatan harian yang selalu ia bawa kemana-mana itu.

\n\n\n\n

Rusly bilang, mahakarya ini memberi gambaran akan pentingnya menghadirkan tradisi dan warisan intelektual dalam kerja-kerja pengawasan pemilu. Elya kata dia, sudah membuktikannya. Di Tengah padatnya aktivitas pengawasan, ia sukses menghimpun 20 essay yang dibukukan lewat : Catatan Orang Dalam.

\n\n\n\n

Buku ini bagi Rusly, mengurai kinerja dan torehan gagasan yang ditawarkan untuk menghadapi tantangan pemilu dan pilkada. “Gagasan perlunya mahada pemilu, perlunya literasi digital dalam menghadapi serbuan berita hoax, pentingnya penyelenggara yang ideal dengan standar ketokohan, integritas, serta adaptif dan inovatif, harus dipikirkan dan segera diwujudkan,” papar Rusly.

\n\n\n\n

Ia juga memberi catatan penting yang belum tergambar dalam buku, catatan yang ia ingin dapat dalam buku yang sedang dibedah ini adalah perihal pilkada dengan calon tunggal di Jawa Timur. Menurutnya, ada dua daerah yaitu Kabupaten Ngawi dan Kabupaten Kediri.

\n\n\n\n

“Di Kediri, yang saya tau calon Bupati Kediri merupakan putra sulung Sekretaris Kabinet Pramono Agung, Hanindhito Hirmawan Pramana, paslon ini juga merupakan calon tunggal sehingga yang terjadi adalah mereka melawan kotak kosong. Saya kira serpihan cerita ini juga akan melengkapi nuansa buku yang ditulis Bu Elya kalau berkenaan ditulis,” kata Rusly.

\n\n\n\n

Selain itu, yang belum tergambar dalam buku ini adalah soal kesuksesan Bawaslu Malang dan Jember dalam penegakkan hukum kasus politik uang, termasuk langkah-langkah inovasi pengawasan partisipatif yang dilakukan oleh Bawaslu Kabupaten/Kota se-Jawa Timur pada Pilkada tahun 2020 lalu.

\n\n\n\n

Muamar yang ketika itu diberikan waktu untuk memberikan catatan pada buku tersebut menjelaskan, jika judul buku ini dirubah menjadi “Orang Dalam”. Maka ada kesakralan berlaku di situ. Orang dalam akan menjadi sakral karena memiliki ketokohan untuk mempengaruhi kebijakan internal lembaga yang bertugas sebagai hakim demokrasi.

\n\n\n\n

Dalam tradisi sosiokultural, fenomena orang dalam menjadi sakral hampir terjadi dimana-mana. Fenomena ini menunjukan bahwa ada hubungan antara orang dalam dengan kelompok yang diberi mandat oleh Negara untuk menjalankan tugas sebagai pengawas pemilu. Karena itu, lewat buku ini, Elya melepaskan keterhubungan itu. Buku ini murni catatan Pilkada yang dicatat oleh orang dalam. [**]

\n\n\n\n

Penulis/editor : Nasarudin Amin

\n\n\n\n

Foto : Humas Bawaslu Kota Ternate

\n"