Jalan Terjal Menghadapi Pemilu Serentak 2024, Sebuah Catatan ‘Kadera Besi’
|
TERNATE - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Ternate berkolaborasi dengan Forum Mari Awasi Pemilu (Marasai) Kota Ternate, Kamis (25/11) menggelar Kelas Demokrasi, Bersama Bersinergi (Kadera Besi).
\n\n\n\nKadera Besi yang bertajuk “Perjuangan Menyelamatkan Pemilu dan Demokrasi” ini digelar secara virtual dengan menghadirkan dua narasumber yakni Akademisi Universitas Khairun Ternate, Dr. Sultan Alwan, SH.,MH dan Anggota Bawaslu Maluku Utara (Malut), Aslan Hasan, SH.,MH.
\n\n\n\nLeader Forum Marasai Kota Ternate, Abd. Haris Lumbessy yang menjalankan fungsi moderator menjelaskan, mewujudkan Pemilu yang demokratis bukan persoalan gampang. Disamping tugas central peserta dan penyelenggara pemilu untuk mewujudkan pemilu agar berjalan secara Luber-Jurdil. Pemilu yang bersih juga membutuhkan seperangkat instrumen regulasi yang tepat agar dapat mendukung terselenggaranya daulat rakyat yang benar-benar demokratis.
\n\n\n\n“Berangkat dari sini, dialog atau kelas demokrasi ini dilangsungkan, kami berharap dialog ini bisa memberi sudut pandang kepada publik Ternate agar lebih serius mengawal daulat rakyat dalam setiap momen pemilihan,” Kata Haris usai Dialog berlangsung.
\n\n\n\nDr. Sultan Alwan menjabarkan, setiap Negara yang menganut sistem demokrasi belum tentu bisa mewujudkan pemilu secara demokratis. Ini karena wujud dari prinsip daulat rakyat sebagaimana diatur di dalam pasal 18 ayat (4) tidak menegaskan secara eksplisit dilaksanakan secara langsung.
\n\n\n\nSemua sangat bergantung pada kebijakan hukum terbuka (open legal policy) oleh pembentuk Undang-Undang. Kata Sultan, apabila kebijakan pelaksana pemilihan diarahkan secara terbuka, entah mau dipilih dengan opsi pemilihan langsung atau sebaliknya dilakukan oleh DPRD seperti yang lalu-lalu, semuanya bisa dilaksanakan yang penting secara demokratis. “Artinya bentuk pemilunya tidak ditentukan secara eksplisit,” ungkapnya.
\n\n\n\nBerbeda dengan ketentuan Pasal 6A ayat (1), kemudian pasal 19 ayat (1) dan di pasal 22C ayat (1) yang sudah diatur secara eksplisit sebagai bentuk kedaulatan rakyat. “Inilah wujud dari daulat rakyat itu. Jadi demokrasi yang kita laksanakan itu inilah bentuk wujud yang dijamin secara konstitusional,” jelasnya.
\n\n\n\nLalu bagaimana penyelenggaraan pemilu dilaksanakan? kata Sultan, di pasal 22E ayat (3) konstitusi mengatakan bahwa pemilu diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Namun jika memaknai pemilihan umum dan melihatnya hanya KPU, maka tentu tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tafsir pasal 22E.
\n\n\n\n“Sebenarnya karena penulisannya adalah huruf kecil pada komisi pemilihan umum, dia tidak merujuk kepada sebuah nomenklatur, jadi bukan lembaganya yang disebutkan, tapi itu adalah sebagai suatu komisi yang bisa jadi dalam bentuk yang lain, yang penting dia bersifat nasional, tetap dan mandiri,” katanya.
\n\n\n\nMantan Ketua Bawaslu Provinsi Malut ini mengungkapkan, di tahun 2009, Dr. Nur Hidayat sewaktu masih menjabat sebagai Ketua Bawaslu RI telah memperjuangkan status Panwas (sekarang menjadi Bawaslu) mendapatkan tempat yang setara dan tidak lagi bernaung dengan KPU. Upaya ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian mengaturnya di dalam UU nomor 22 tahun 2007 yang menyatakan bahwa Bawaslu atau Panwas adalah bagian dari penyelenggaraan pemilu.
\n\n\n\n“Dengan putusan MK tersebut, maka Panwas pada saat itu mendapatkan tempat, tidak lagi bernaung di bawah KPU, tetapi sudah mandiri baik secara administrasi maupun secara kepegawaian. Kalau dulu tidak, masih jamannya Panwas itu kita masih numpang di KPU, termasuk pintu masuk penjaringan itu masih lewat KPU,” jelasnya.
\n\n\n\nRegulasi itu dipertegas di dalam UU nomor 15 tahun 2011, kemudian diubah lagi menjadi UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam UU ini kata Sultan, terdapat tiga lembaga yang diatur sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggara pemilu yakni KPU, Bawaslu dan DKPP.
\n\n\n\nNamun dalam praktek pemilu, terdapat problem pada kedudukan DKPP. Kata dia, posisi DKPP dalam satu kesatuan fungsi dipertanyakan kedudukannya apakah kedudukannya sebagai yudikatif atau eksekutif. Status ini mempunyai konsekwensi dari aspek penyelesaian sengketa ketika ada putusan DKPP.
\n\n\n\n“Kasus yang paling menyita perhatian adalah ketika DKPP memutuskan memberhentikan Ketua KPU dan salah satu anggota bernama Novita Ginting kala itu. Kemudian muncul reaksi sehingga berlanjut pada PTUN,” jelasnya seraya menambahkan dinamika ini akan terus berlangsung dan akan terus mempengaruhi proses penyelenggaraan pemilu jika sistem ini tidak ditata secara baik.
\n\n\n\nProblem lainnya adalah pada 2019 lalu, terdapat 890 orang petugas KPPS meninggal dunia dan 5.175 orang yang sakit dalam suasana pemilihan. Menurutnya, kasus-kasus ini telah membuat penggiat pemilu mulai berfikir tentang opsi penyelenggaraan pemilu 5 kotak secara serentak di 2024.
\n\n\n\nKarena itu, MK melalui Putusan MK No. 55/PUU-XII/2019memberikan setidaknya 6 Alternatif Desain Sistem Pemilu Konstitusional. “Kita akan menunggu apakah DPRD dan Presiden membentuk pola saat ini 5 kotak di 2024 dengan mempertimbangkan beban kerja penyelenggara pemilu, atau bisa saja dalam waktu beberapa tahun ini akan diubah sistem pemilu dengan merujuk pada opsi-opsi yang telah diberikan oleh MK,” ungkapnya.
\n\n\n\nMengenai ancaman kecurangan pemilu sendiri, Sultan mengaku kecenderungan ini masih saja terjadi. Karena itu, penegakan hukum harus memberikan efek jerah kepada pelanggar pemilu.
\n\n\n\nSementara Anggota Bawaslu Malut, Aslan Hasan di akhir pemaparan materi meminta seluruh Alumsi Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif (SKPP) di Malut, terutama di Kota Ternate agar selalu intens bersama-sama Bawaslu memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang kepemiluan. (HBT)
\n\n\n\nPenulis/Editor : Nasarudin Amin
\n\n\n\nDokumentasi : Zulkifli Leme
\n